LOST WITH RYOTA
Seminggu yang lalu...
Seorang
gadis belia yang baru lulus dari sebuah SMU di ibukota dengan nilai yang
cukup memuaskan pergi berlibur ke negara matahari terbit. Hikari
namanya, lahir dari ibu yang lama menetap di Jepang, dan ayah yang
memang asli dari sana. Mereka memutuskan untuk menikah pada usia yang
agak telat dan tinggal di Indonesia.
Hikari
ingin menelusuri salah satu desa di Hokaido, tempat terdingin di Jepang
seorang diri. Meski sebelumnya ditentang, ia berhasil mengantongi izin
setelah ayahnya menghubungi salah satu kerabat jauhnya disana.
Kebetulan,
istri dari sepupu jauhnya itu orang Indonesia sehingga Hikari tak perlu
susah-susah untuk memperluas bahasa Jepangnya yang cuma sekedar
moshi-moshi dan arigatou.
Hikari
berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta pada pukul 8 pagi. Ternyata
perjalanan yang ia bayangkan tak semulus yang ia kira. Perjalanan ini
cenderung lama, membuatnya pusing tak tertahan.
"Are you okay?" tanya seorang pemuda berwajah oriental yang duduk di samping Hikari.
Ia tersentak, bengong. Lalu akhirnya menggelengkan kepalanya.
"You need
some medicine, right?" lalu pemuda itu memanggil pramugari dengan jarak
terdekat dari mereka menggunakan bahasa Jepang yang logatnya begitu
alami.
Pramugari tersebut memberi satu tablet putih setelah memeriksa Hikari
dengan sigap. Hikari meminum obat itu dibarengi air putih yang terasa
begitu melegakan.
"Sudah baikkan?" kata pemuda itu lagi dengan bahasa inggris yang kalau didengar lebih teliti, rada aneh.
"Udah. Makasih ya?" jawab Hikari dengan bahasa Inggris yang tidak kalah, namun dengan logat yang berbeda pula.
"Baru pertama kali ke Jepang?" katanya.
"Iya..." Hikari menjawab gugup.
"Ryota..." katanya sambil mengulurkan tangan. Hikari menjabatnya sambil berkata,
"Hikari..."
Terlihat
kerut Ryota sedikit berkerut mendengar nama Hikari yang terkesan Jepang,
meski kulitnya seputih orang Jepang, namun mata bulatnya yang bagai
boneka itu membuatnya bertanya lagi, "Kamu orang mana?"
"Indonesia,
tau kan? Yang ada Pulau Balinya itu. Aku di pulau yang berbeda, namanya
Pulau Jawa..." lalu ia melanjutkan, "ayahku orang Tokyo, sedang ibuku
asli Indonesia..."
"Pantas..." Ryota mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kalau kamu?" kata Hikari penasaran.
"Aku? Aku... Asli Jepang, lama di Amerika... Kuliah..." Ryota menjawab dengan ngambang.
"Daerah mana?" tanya Hikari lagi.
Bukan sebuah jawaban yang didapatkan Hikari, namun sebuah pandangan sendu, sepertii tersakiti sesuatu.
"Hei,
gimana kalo acara tanya-tanya-nya kita sudahi? Aku ngantuk..." Ryota
menguap sambil memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.
"Baiklah
kalau begitu, " Hikari memutuskan untuk merapatkan matanya, seperti apa
yang dilakukan Ryota. Perlahan rasa lelah, kantuk dan dinginnya AC
menyerubuti tubuhnya. Dan tak butuh waktu lama untuk membuat nafas
Hikari melemah beraturan.
Ketika
sampai di Bandara yang bertuliskan huruf-huruf Jepang, mata Hikari
terlanjur malas untuk melihat ke sekeliling apa gerangan nama Bandara
tersebut. Sakit kepalanya yang masih merasuk, membuat jalannya
sempoyongan dan hampir jatuh.
"Hati-hati!" dekapan tangan yang lebar dan hangat mengapit badan ramping Hikari.
"Ryota..." kata Hikari, mengijap-ngijapkan matanya sambil merenggangkan pelukan yang membuat dadanya berdesir itu.
"Tadi aku
liat kamu turun duluan, terus pas mau aku samperin, kamunya malah
terlihat seperti orang kehabisan tenaga" Ryota terdengar cemas.
"Oh, iya
nih. Obat yang kemarin gak pengaruh sekarang. Kepala aku rasanya mau
pecah." Hikari memegang kepalanya dan bersikap seolah akan oleng lagi.
Tapi kali ini ia bisa menahan bobot badannya sehingga tubuhnya tegak
dalam hitungan detik.
"Gimana
kalo kita minum kopi dulu?" Ryota membawakan koper Hikari, dan
mengajaknya ke outlet kopi yang asapnya mengepul-ngepul. Hikari
sebenarnya sadar, kalau ia tak seharusnya langsung percaya pada orang
asing yang baru ditemuinya. Namun kehadiran Ryota menghangatkannya.
Berhubung disini udaranya sangat dingin, Hikari menggigil-gigil karena
jaket kulitnya tak sanggup untuk melindungi tubuhnya.
Ketika
mereka duduk di salah satu kursi yang masih kosong, Ryota sempat
memakaikan jaket berbulu cokelatnya ke punggung Hikari. Hikari tersenyum
sambil menggumamkan kata 'thank you'.
Tak lama,
Ryota kembali dengan dua cup plastik kopi memenuhi tangan kiri dan
kanannya. Ia memberikan satu pada Hikari sambil memperingatkan kopi di
sini sangat panas. Benar saja, panasnya bagai air panas yang baru
mendidih, pikir Hikari sebal. Ryota yang sedari tadi memperhatikan
sikapnya, tak bisa lagi menahan gelak tawanya yang terdengar renyah.
This guy's weird. He can make me blushing in a short time. Make my heart
pumpin' too.
Setelah capek bercengkrama, mereka memutuskan untuk beranjak pergi.
"Kamu mau kemana sekarang?" ujar Ryota.
"Ke rumah
paman, kata Ayah tinggal kasih aja alamat ini ke supir taksi, nanti
paman yang membayar biayanya..." kertas yang tadinya ada di genggaman
Hikari, diambil Ryota. Ketika membaca kertas itu, entah karena angin
yang tiba-tiba menjadi kencang, kertas itu pun melayang dengan cepat.
"Eh, eh..." Ryota mencoba mengambilnya kembali, namun tak berhasil. "Sorry..." kata Ryota lagi.
"Well,
aku bisa telepon lewat telepon umum..." bersamaan, mereka melihat
telepon umum yang sudah karatan. Juga basah diterpa salju. Hikari hanya
bisa bersungut kesal sambil mengucap sumpah serapah dalam Bahasa
Indonesia yang takkan dimengerti oleh Ryota.
"Aku juga baru pertama ke Hokaido, jadi..." Ryota memandang ke arah Hikari.
"Kayaknya kita tersesat bersama deh..." kata Hikari dan Ryota hanya menganggukkan kepalanya tanda setuju.
"Gimana
kalo kita nyewa hotel deket-deket sini?" Ryota yang mengucapkan kalimat
itu santai, mendapat respon yang tidak santai dari raut muka Hikari.
Buru-buru ia meralatnya, "gak-gak. Aku tau kok adat orang Indonesia yang
ketimur-timuran. Maksud aku, nyari tempat berteduh aja. Kan gak mungkin
kita diem di sini, gak aman..."
Hikari
membenarkan perkataan Ryota tadi. Ia merasa risih, tapi lebih risih lagi
kalau harus kecopetan pada hari pertama, membuat rasa gengsi, tak ingin
ditemani orang tuanya sia-sia saja.
"Oke, deh." kata Hikari singkat.
Mereka
lalu menghentikan sebuah taksi yang tepat berhenti beberapa detik lalu.
Ryota berbicara dalam Bahasa Jepang kepada supir tersebut. Supir itu
mengangguk mesum. Heh! Kalo gue bisa ngomong, habis lo! Teriak Hikari
dalam hati. Sialan aja, si supir pasti mikir yang nggak-nggak sembari
melihatnya dan Ryota.
Mereka
pun sampai di sebuah gedung menjulang.Tidak terlalu tinggi, sekitar 4-5
lantai. Ryota keburu membayar uang taksi sebelum Hikari merogoh
dompetnya, bersyukur ia tersesat bersama cowok yang nggak kere.
Ryota
begitu fasih berbicara dalam Bahasa Jepang. Ia pun berbicara pada
resepsionis perempuan yang umurnya sekitar 19-20 tahunan. Resepsionin
itu begitu berbinar melihat Ryota. Tapi memang betul sih, sumpah Hikari
dalam hati. Cowok yang baru dikenalnya ini terlihat begitu dewasa, juga
tampan. Dadanya yang bidang menunjukkan kalau Ryota sering melatih
otot-ototnya.
"Sudah, ayo?" Ryota menggenggam tangan Hikari.
Hikarim melirik sebentar ke arah si resepsionis, merasa menang melihat raut wajah itu cemberut mengiringi dirinya dan Ryota.
Kamar
nomor 4-3. Mereka masuk dan menemukan ruangan yang cukup sempit, namun
berisi 1kamar mandi, 1 ruang makan yang mecakup dapur, beserta satu
kamar tidur. Tunggu dulu... Satu kamar...?
"Kok cuma satu kamar, sih?" sungut Hikari.
"Oh, itu.
Jadi gini, tadi aku udah minta yang kamarnya double, tapi katanya lagi
penuh... aku udah minta selimut tebal lebih kok..." Ryota melanjutkan,
"selimut tebal Jepang maksudku..." katanya sambil menuju ke kamar mandi.
"Mau
kemana?" pertanyaan bodoh, namun karena merasa hanya Ryota kawan
penghilang sepi satu-satunya, Hikari merasa sedikit jengah.
"Mandilah. Gerah tau!" kata Ryota nyengir, menanggapi sikap Hikari yang rada kekanak-kanakkan.
Hikari
bingung akan melakukan apa. Ia hanya duduk di dekta meja yang begitu
rendah. Meja yang pernah dilihatnya di serial kartun Shinchan. Eh, kan
dibawahnya hangat? Kenapa gak coba masukkin? Benak Hikari. Ia pun
memasukkan kedua kakinya yang hampir membeku ke dalam meja.
Hangatnya...
Tak lama, Ryota keluar dari kamar mandi, ditemani kepulan asap yang menguap-nguap.
"Giliranku!"
seru Hikari riang. Ia mengambil handuk putihnya dan bergegas masuk ke
kamar mandi. Ia tak menghiraukan kebiasaannya keluar dari kamar mandi
dengan hanya selembar handuk saja. Well, gak masalah kalo di rumahnya,
tapi disini? Jepang? Bersama cowok pula! Dan Hikari baru menyadari
keteledorannya setelah memutar keras air panas. Biarin deh, cueknya
dalam hati.
Di dalam
kamar, perut Ryota meraung-raung minta diisi. Berbalutkan celana santai
berwarna hijau, ia keluar sambil membiarkan dadanya terbuka. Rasa lapar
mengalahkannya untuk sekedar mengambil kaos di ranselnya.
"Aaa..."
terdengar teriakan dari arah kamar mandi, lalu terlihat seorang gadis
berbalutkan handuk keluar menjerit-jerit. Mungkin tak menyadari sosok di
depannya, Hikari memekik lagi melihat seorang pemuda yang hanya memakai
celana hijau tanpa baju sehelai pun. Baru kali ini ia melihat yang
seperti itu, membuat teriakannya lebih keras lagi, "Aaa..."
"Hikari,
calm down..." kata Ryota, "ini aku, Ryota..." terang saja, wajah Ryota
yang terlihat berbeda mungkin dikarenakan basah. Rambutnya yang biasanya
berponi dan lepek, kini jingkrak seolah menjadi sosok yang sedikit
membingungkan.
"Ryota..."
suara Hikari terdengar serak. Lalu teringat sesuatu yang membuatnya
ngeri di dalam kamar mandi, ia kembali histeris, "walang sangit!"
katanya dalam bahasa ibu.
"Hah?"
Ryota heran, sekaligus bingung. Apa tadi Hikari mengucapkan kata itu
dengan benar? "Wa, apa?" katanya dalam bahasa inggris.
Hikari
tersadar akan kebodohannya, lalu bilang... "Serangga..." dalam bahasa
inggris yang langsung ditanggapi anggukan oleh Ryota.
Ketika
menoleh ke belakang, Hikari melihat serangga yang mirip walang sangit
tadi merayap keluar kamar mandi. Sontak ia kaget luar biasa. Hingga
akhirnya menubruk Ryota dengan keras. Mereka pun jatuh dengan posisi
Ryota di bawah.
Ting-tong.
Sesosok
orang datang dan membuka pintu tradisional Jepang kamar mereka dan kaget
ketika mengucapkan permisi dalam bahasa inggris. Ternyata seorang
ibu-ibu tua, bisa dibilang sudah nenek-nenek. Ia tersenyum simpul sambil
berkata dalam bahasa Jepang, "kelihatannya satu selimut cukup, apa ini
perlu kubawa pergi?" yang nenek itu maksud adalah selimut permintaan
Ryota tadi.
Ryota
menanggapinya dengan gagap. Namun posisinya yang masih di bawah Hikari
membuat nenek itu mengerti dan membawa kembali selimut itu keluar dari
kamar bertuliskan 4-3.
"Mau sampai kapan kayak gini?" kata Ryota sambil bersemu merah.
Hikari yang sudah sadar akan posenya tersebut, buru-buru menarik tubuhnya dari dada bidang Ryota.
"Sorry..." ujar Hikari.
Ryota tersenyum, menggumamkan gak apa-apa yang hampir tidak terdengar.
"Aduh!" Ryota memegang kepalanya.
"Eh, kenapa kamu?" Hikari panik, perasaan yang dia timpuk bukan kepalanya deh, kok si Ryota malah megang-megang kepala gitu?
"Gak, gak
apa-apa... " Ryota seolah menarik diri untuk melanjutkan perkataannya,
lalu ia pun berkata, "terus... tidur... dimana?" ujarnya terbata-bata.
"Ya di kamar..." Hikari tersentak, "oh, iya ya... Selimutnya kan dibawa nenek tadi!"
Ryota berpikir sejenak, lalu bilang, "Ya udah, kamu aja yang tidur pake selimut itu, aku di..."
Hikari buru-buru menyela, "Eh, enggak-enggak. Mana tega aku..."
"Terus, mau gimana donk?" Ryota menatap Hikari heran.
Tak lama, ide cemerlang terbesit di otak Hikari sehingga senyumnya menyungging bak Prof. Einstein.
"Jadi aku tidur di sebelah kanan gitu?" Ryota memperjelas gagasan Hikari tadi.
"Iya. Nah bantal ini yang jadi penghalangnya. Jangan macem-macem, ya!" Hikari mengingatkan.
"Gak
janji..." Ryota nyengir kuda. Membuat Hikari risih. Namun buru-buru
Ryota melanjutkan, "ya gaklah. Mana mau aku..." ujarnya serasa jijik.
Sukses
membuat Hikari melongo, Ryota tidur dengan lelap. Melihat itu, Hikari
pun mencoba menyandarkan kepalanya. Kantuk datang lagi, kelopak matanya
pun tak menolak untuk memejamkannya hingga malam berganti pagi.
Hikari
menghirup bau sedap. Kemarin ia bermimpi sedang ada di restoran
favoritnya di Jakarta, lengkap dengan paket makanan khas Jepang yang
membuatnya ngiler. Semakin lama, bau itu semakin membuatnya tak tahan.
Ia pun membuka matanya. Butuh waktu beberapa menit untuk menyadari bahwa
ia sedang berada di kamar tempatnya menginap semalam. Ia melihat
cerminnya, menyisir rambut dan diikat ke belakang sebelum keluar kamar.
"Pagi,
Tuan Putri..." terlihat seorang pemuda memakai celemek warna krem,
dengan apiknya menuangkan cairan berasap ke sebuah mangkuk besar.
"Bisa masak ternyata..." gumaman Hikari terdengar sampai ke telinga Ryota, ia pun tersenyum.
"Masak
yang gampang-gampang sih bisa, asal jangan suruh aku masak pasta aja..."
Ryota melepas celemeknya, lalu mengambil dua gelas air putih.
"Thanks..." kata Hikari menanggapi.
"Sama-sama..." ucap Ryota tersanjung.
"Ngomong-ngomong,
apa nih nama masakannya?" Hikari tiba-tiba teringat akan tayangan
chef-chef di televisi Indonesia yang sedang marak digandrungi para chef
aduhai. Mulai dari cewek seksi, sampai pake tekhnik kungfu segala.
"Hold
on... How about, spinach soup?" Hikari menatap Ryota, hampir terkikik
kalau kata-kata Ryota tadi dialihbahasakan dalam Bahasa Indonesia, yang
artinya ya, sayur bayam.
"Cocok-cocok..." Hikari hanya mesem-mesem pada akhirnya.
"Hei,
bukan nama yang aneh, kan?" kata Ryota lagi. Ia, bukan. Tapi itu makanan
kakeknya di Bandung yang dilahap cepat oleh gigi yang hampir rumpang
semua. Hikari mengambil sesendok, lalu mencobanya sambil menahan tawa.
Rasanya...
"Kok..." Hikari menggantung kalimatnya.
"Kok apa?" ujar Ryota penasaran.
"Kok, enak?" Hikari tersenyum merekah ke arahnya.
"Iya donk. Siapa dulu yang bikin, Chef Ryota~" Ryota tersenyum bangga.
Mereka pun memakan sarapan yang sebenarnya terlihat sederhana itu dengan perasaan yang sama sekali tidak sederhana.
Hikari
meratap dalam kebosanannya. Badai salju yang sudah berjalan selama 2
hari semenjak menapakkan kakinya di daerah Hokaido tak kunjung reda.
Sudah seharian pula ia duduk di ruang makan, mendengarkan alunan musik
dari ipod putih kesayangannya.
"I'm
back..." suara dari arah pintu membuatnya menoleh untuk sejenak, namun
asyik lagi dengan lagu tangga yang berjudul kesempatan kedua, sebenarnya
banyak lagu hits tangga yang lebih populer belakangan ini, namun Hikari
tetap membiarkan lagu itu nongkrong di playlist-nya yang hanya berisi
beberapa lagu saja.
Tarikan pelan mengambil headset Hikari di sebelah kiri.
"Kamu bosen ya?" Hikari menatap Ryota, lalu memalingkan pandangannya ke arah jendela.
"Hei, aku
baru denger dari resepsionis tadi, kalo mungkin besok cuacanya bakal
lebih baik. So, besok aku pingin ngajakin kamu nge-date..." Ryota
pemberi penekanan pelan dalam kata 'date...
"Hah?"' hal itu berhasil menyingkirkan headset yang satu lagi di telinga kanan Hikari, "You mean it?" kata Hikari lagi.
Ryota mengangguk.
"Ya udah
deh kalo gitu, aku gak mau pas kita nge-date nanti, aku malah keapean
lagi..." Hikari mematikan ipodnya, lalu melangkah ke kamar, "aku mau
tidur dulu ya?" katanya.
"Okay,
i'll catch ya..." Ryota terdiam sebentar di ruang makan yang mencakup
dapur itu. Ia menghembuskan nafas dengan satu hentakan, lalu beranjak
untuk menyusul Hikari.
Keesokan
harinya, Hikari bangun dengan bersemangat, setidaknya udara tidak
sedingin biasanya. Ia keluar kamar, mendapati Ryota telah siap dengan
peralatan ski-nya.
"Katanya mau nge-date bareng aku?" kata Hikari cemberut, ia pun mendudukkan pantatnya di hadapan Ryota.
"Emang,
siap-siap sana..." Ryota pun memakai sarung tangan tebal berwarna
merahnya. Melihat Hikari tak juga beranjak, ia berkata lagi, "jadi gak?
Aku kan ngajakin kamu main ski?"
Hikari terhenyak.
"Asal tau
aja ya, Ryota si Tuan Serba Bisa, aku tuh gak pernah yang namanya main
ski-ski gitu..." kata Hikari kesal. Soalnya kemarin kencan yang dia
impikan tuh bukan main-main benda dingin bersama salju, melainkan kencan
di taman yang dipenuhi oleh bunga-bunga yang warnanya beraneka ragam.
"Kalo
kamu pikir kita bisa nemuin taman bunga di Hokaido ini, aku sih hayo
aja..." Ryota mengambilkan pakaian dan peralatan yang harus dipakai
Hikari.
"Kok kamu tau sih?" Hikari makin bingung saja.
"Cuma nebak, lagian... Kamu gak bakal nyesel deh kalo udah nyoba, ski itu menyenangkan lagi..."
Bujukkan akhir Ryota membuat Hikari jengah. Ia pun masuk ke kamar mandi untuk mandi.
Ryota sempat berteriak, "aku tunggu di depan..." lalu membuka pintu dan menggebraknya dengan bersemangat.
"Gimana, tempatnya bagus kan?" Ryota melirik Hikari yang sedari tadi diam.
"Apanya yang bagus, dingin begini..." sungut Hikari.
"Apa yang
kamu harapkan? Sehari sesudah badai yang dikelilingi taman bunga?"
Ryota melesat dengan lincah ke bawah, menuju gundukan salju yang lebih
tinggi.
"Eh, eh, mau kemana?" Hikari agak berteriak.
"Aku mau main dulu, 5 menit lagi aku balik..." Ryota sempat berbalik sebelum akhirnya meluncur kembali.
Hikari
yang dihinggapi rasa kesal, akhirnya mencopot sepatu skinya. Untung ia
sempat membalutkan kakinya dengan dua pasang kaos kaki sekaligus, jadi
rasa dingin tidak terlalu masalah bagi kulitnya yang terbiasa di daerah
tropis.
Hikari
ingat, waktu kecil ia sempat bermain ski dengan ayah dan ibunya. Ia
merupakan anak semata wayang, jadi tak heran kalau arena bermainnya
hanya dengan teman satu sekolah atau tetangga-tetangga membosankannya.
Waktu itu, ia ingat, bersama dengan kedua orang-tuanya, tidur di atas
salju sambil mengepak-ngepakkan tangan serta kaki. Mirip kupu-kupu. Ia
merasakan sensasi kehangatan lagi ketika melakukannya untuk yang kedua
kali.
Hikari menatap ke awan, not bad, pikirnya. Lalu ia pun memejamkan matanya sejenak.
Pukk!
"Aw..." Hikari meringis kesakitan. Setelah itu, dahinya terasa basah dan dingin.
"I;m
back..." Ryota! Seharusnya ia tau sejak awal. Hikari pun segera mencari
rumpukan es besar untuk melindungi dirinya. Ia membulatkan es di
tangannya yang dilapisi sarung tangan tebal, ketika ia mendongak, Ryota
sudah tak terlihat lagi.
"Kemana dia?" gumamnya.
"Cari siapa?" kata sebuah suara.
"Cari
Ryo..." kata-kata yang dikeluarkan Hikari tak sempat dilanjutkannya
karena keburu ditimpukki bola salju lagi oleh Ryota. Ryota berlari
sambil tertawa.
"Sialan,
eh. Mau lari kemana kamu!" kejar Hikari, bola saljunya pun dilapisi lagi
oleh salju-salju disekitarnya. Ia mengambil ancang-ancang, lali berkata
dengan keras, "Ryota!" katanya.
Orang yang dipanggil pun menoleh, kesempatan itu tak disia-siakan oleh Hikari untuk melempar si Ryota.
Mendengar suara mengaduh Ryota dari jauh, Hikari merasa senang bukan kepalang.
"Haha, akhirnya kena juga!" pekiknya bangga dengan dirinya sendiri yang sukses membuat Ryota tersungkur.
Tunggu dulu? Tersungkur? Ia kan hanya melempar satu bola salju saja, tapi mengapa Ryota terlihat kesakitan begitu?
Hikari pun berlari cemas ke arah Ryota.
"Ryota, are you okay?" Hikari menyandarkan kepala Ryota di pangkuannya.
"I..." Ryota tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Matanya yang tadi mencoba tersenyum, kini terpejam.
Hikari yang panik pun berteriak ke arah sekelilingnya.
"Help! Please help us! Anyone!"
Hikari
terduduk lesu, ia berdoa sepanjang perjalanan ke klinik ini. ryota
berhutang satu penjelasan padanya. Setidaknya setelah apa yang terjadi,
tak mungkin Hikari terima begitu saja kalau nantinya ia harus mendapat
jawaban, "gak ada apa-apa" yang menurutnya hanya membuat semua lebih
rumit.
Seorang dokter perempuan keluar, berbicara dalam bahasa yang begitu asing.
"Pardon me. Can you speak english?" Hikari bersuara, serak.
"Oh, i'm
sorry..." lalu dokter yang terbilang perempuan itu melanjutkan dalam
bahasa Inggris. "Apakah anda keluarganya?" tanya sang dokter.
"No, no.... Saya..." Hikari kesusahan ketika dokter akhirnya mengangguk mengerti.
"Apakah anda sudah diberitahu bahwa..." dokter sengaja menggantung kalimatnya, Hikari yang penasaran pun menjawab...
"Tidak. Saya..." ketika hendak melanjutkan, sang dokter menyela sopan.
"Oh, maaf kalau begitu. Saya tidak bisa berkata lebih lanjut, penjelasannya bisa anda dengar langsung dari mulut pasien..."
Mendengar itu, Hikari terkejut.
"Apakah pasien sudah sadar Dok?" tanyanya antusias.
"Sudah,
tapi saya harap anda tidak bertanya terlalu banyak..." lalu berkata
pelan, "ia harus beristirahat yang cukup. Permisi kalau begitu?" dokter
hendak pergi sebelum bertanya, "nama anda siapa ya?"
Hikari menjawab reflek, "Saya Hikari, terima kasih banyak, Dok..." ia pun tersenyum.
Ryota
merasakan kepalanya pening, seolah tertindih bongkah batu besar yang
terbuat dari besi. Ia melihat sekeliling, lalu didapatinya sosok seorang
gadis dengan muka cemas.
"Kamu membuatku cemas..." kata Hikari pelan, setengah berbisik.
Ryota hendak berbicara, namun ada sesuatu yang menutup mulutnya, sampai ke hidungnya.
"Udah,
gak apa-apa. Kamu istirahat aja dulu... Tidur yang banyak, biar lekas
sembuh..." Hikari memutuskan untuk berpura-pura. Ia menahan rasa
penasarannya, bahkan menyunggingkan senyum. Sekedar untuk membuat Ryota
rileks.
Ryota
tersenyum, begitu sendu. Mukanya yang kini pucat terlihat begitu
berbeda. Hikari melihat mata Ryota perlahan terkatup, terlihat begitu
lelah. Ia pun menepuk tangan Ryota pelan, membuatkan suatu irama yang
lembut dan menenangkan.
Hikari
tersenyum riang, dalam perjalanan pulang ke hotel kemarin, ia sempat
menemukan satu-satunya toko bunga yang pertama kali ditemuinya di tanah
Jepang. Ia begitu merindukan kelopak bunga-bunga yang meski warnanya tak
seaneka di Jakarta, ia tetap jingkrak-jingkrak mengetahui ia membawa
sedikit uang yang berlaku di Jepang, pemberian Ryota.
Kini ia
tinggal beberapa langkah untuk sampai di kamar rawat inap Ryota. Ia
membuka pintu pelan, dan dilihatnya Ryota sedang terduduk, bersandar
dengan bantal di tempat tidurnya. Ia melihat ke arah jendela besar yang
bening, menikmati indahnya kesejukkan dunia luar yang tak sedingin
kemarin.
"Pagi, Tuan Ryota..." sapa Hikari.
"Pagi..." Ryota tersenyum, agak kaku.
"Tada!" Hikari menunjukkan bunga matahari yang sudah agak layu.
"Wah! Dapat darimana? Kurasa sangat sulit mencari bunga itu di daerah sini?" Ryota tercengang. Hikari pun menjadi girang.
"Itu yang namanya takdir. Aku gak sengaja menemukan bunga ini ketika pulang kemarin, terus aku beli satu deh buat kamu!"
Ryota bingung, "Lho, itu kan dua batang?".
Hikari
yang sedari tadi berbicara di dekat pintu mendekat, lalu mendudukkan
dirinya di sebuah kursi kayu. Tak jauh dari tempat tidur Ryota.
"Satu
buat kamu. Satu lagi buat aku!" Hikari lalu memberikan bunga itu kepada
Ryota, yang melongo sejenak, lalu mengambil bunga yang terlihat begitu
polos itu.
"Thanks. I owe you one..."
"You're welcome!" mereka pun berbincang seputar kegiatan yang dilakukan di tempatnya kemarin.
Saking asyiknya, Hikari melupakan hal yang begitu membuat keluarganya khawatir.
"Moshi-moshi?" Takao pun menjawab HP-nya yang sudah sangat ketinggalan jaman.
"Halo... Takao-san? Ini aku, Maya..."
Terdengar
suara yang membuat Takao bingung, namun mendengar nama Maya, ia
langsung bersua, "Oh, wait a minute..." Takao bergegas memanggil
istrinya.
"Halo, ini Dian... " kata istri Takao.
"Dian, ini Mbak Maya. Gimana kabar Hikari disana?" kata Maya cemas.
"Oh, Hikari..." Dian memandang suaminya... "Ia sedang jalan-jalan di sekitar rumah, baru aja, Mbak..." dusta Dian pada akhirnya.
"Kok kamu biarin dia jalan sendirian?" Maya sedikit murka.
"Oh, enggak kok, Mbak. saya udah suruh anak tetangga untuk menemaninya. Perempuan kok, namanya Megumi..." karang Dian buru-buru.
"Baguslah...
" Maya pun menghembuskan napas lega. "Megumi yang pernah aku pangku itu
ya? Bagaimana rupanya sekarang?" tanya Maya, membuka percakapan
basa-basi.
"Iya, Mbak. Masih ingat saja..."
"Moshi-moshi...!"
jeritan salam terdengar di pintu depan rumah Dian dan Takao. Suaranya
yang agak nyaring akhirnya sampai di telinga Maya.
"Siapa itu, Dian?" tanya Maya reflek.
"Anak tetangga, Mbak... Sudah dulu ya..."
Tut, tut, tuuut...
Sore itu,
Hikari membelikan bubur yang dibelinya di dekat klinik. Ryota
menyuruhnya karena makanan dari klinik sangat hambar, ia hampir
kelaparan sepanjang hari. Ternyata bubur permintaan Ryota tidak begitu
susah dicari. Hikari tinggal memberikan kertas yang berisi tulisan
Ryota, lengkap dengan harga yang tak jauh beda di samping catatannya
itu.
Ketika kembali, dilihatnya Ryota sedang menulis sesuatu. Karena tak ingin mengejutkan, ia mengetuk pintu sekali.
"Masuk..." kata Ryota, matanya masih terpaku pada tulisan yang digelutinya dengan serius.
"Lagi nulis apa?" kata Hikari, melongokan kepalanya di depan wajah Ryota.
Ryota menutup kertas yang panjangnya hampir sama dengan kertas HVS, namun dengan ketebalan yang berbeda.
"Secret..." katanya sok misterius.
"Dasar! Eh, kata Dokter, kamu udah baikkan ya?" tanya Hikari dengan muka yang dipenuhi senyum.
Ryota memalingkan matanya, seolah lebih bergairah untuk menatap lantai. Lalu ia mengangkat kepalanya, dan berkata...
"Iya, aku mau jalan-jalan... Bisa temenin aku gak?"
Hikari yang senang bukan kepalang, langsung menganggukkan kepalanya, lalu diikuti rambut hitamnya yang bergelombang.
"Kok kita ke sini sih?" Ryota ternyata mengajak Hikari ke belakang hotel yang mereka tempati beberapa hari yang lalu.
"Iya, aku
mau..." Ryota lalu mendekat ke sebuah pohon yang ditutupi salju. Ia
mengusapkan tangannya yang berbalut sarung tangan bermotif biru tua ke
batang pohon, menyingkirkan salju tentunya.
"Look here..." katanya, Hikari pun mendekat.
Terlihat ukiran di batang itu...
"Jiro... Ma..." Hikari sempat merasa bingung saat membaca nama yang letaknya dibawah nama 'Jiro'...
"Ini... " Ryota menahan nafasnya, mencoba membendung air mata yang sangat dirasanya kurang jantan. Di depan Hikari pula.
Hikari
diam, mencoba menjelajahi pikirannya yang telah memproduksi beberapa
analisis. Analisis terakhirnya, itu adalah nama orang tua Ryota...
Butuh
waktu satu hari bagi Maya dan suaminya, Kira, untuk sampai di tanah
Hokaido. Mereka lalu mengehentikan sebuah taksi. Kira berbicara dalam
bahasa Jepang yang sedikit membuat Maya mengerutkan dahinya. Kira-kira
sudah 10 menit mereka berada dalam taksi itu, sangat berharap bahwa
kekhawatiran mereka ini sia-sia.
"Moshi-moshi..." Kira berteriak, sang empunya rumah pun datang sambil membukakan pintu.
"Mbak Maya..." Dian datang menghampiri Maya, lalu memeluknya.
"Dian,
gimana kabar disini?" sementara Dian dan Maya asyik berbincang menuju
ruang tamu, para lelaki malah asyik mengobrol sambil berdiri.
Maya
hendak menyuruh suaminya masuk, namun kelihatannya, Kira sedang larut
dalam percakapan yang serius. Ini membuat hatinya semakin galau.
"Mbak kok nggak ngabarin dulu mau nyusul Hikari ke sini?" kata Dian.
"Oh, maaf
deh kalau begitu. Biasa, kangen. Hampir seminggu tuh, rasanya kayak
bertahun-tahun..." Maya tertawa renyah, agak akting sebenarnya. "Mana
anakku...?" tanya Maya, menyunggingkan senyum seolah semua baik-baik
saja.
"Eh...
soal itu..." Dian ragu-ragu. Atau bahkan sama sekali tak bisa menjawab.
Maya yang dibuat kesal, sudah memelototkan matanya. Hampir saja ia lepas
kendali, sampai Kira datang dengan tampang aneh...
"Maya, this sounds bad..." katanya.
"Sorry... Pardon me?" Maya bertingkah seperti orang yang salah dengar.
"Our girl... Hikari..." Kira coba merangkai kata.
"We never meet her... Even today..."
Setelah
kemarin, ia dan Ryota termenung di belakang hotel itu, hari ini Ryota
mengajaknya jalan-jalan lagi. Ketika bertanya, Ryota menjawab dengan
khasnya. "Secret..."
Ternyata
Ryota mengajaknya ke sebuah rumah kaca, yang di dalamnya benar-benar
hangat. Juga banyak bunga-bunga yang bermekaran, sungguh kontras dengan
suasana di luar rumah kaca ini.
"Aku
nepatin janji aku kan... Take you... To the dream world..." Ryota
merentangkan tangannya. Mempersembahkan segala keindahan yang tertera.
Seolah itu adalah karyanya yang dipersembahkan khusus untuk Hikari
seorang.
"Are you cryin'?"
Kata-kata
Ryota menyadarkan Hikari, kalau manusia itu ternyata ajaib. Ia sendiri
bahkan tak tahu bahwa dirinya mengeluarkan bulir-bulir hangat yang
melewati pipinya secara perlahan.
"No... I
just... " Hikari tak sanggup meneruskan kata-katanya, ia menggumamkan
terimakasih dalam bahasa Inggris untuk mengungkapkan perasaannya.
"Welcome..." cengir Ryota. "Well, i have a request for ya..."
"What is it?" Hikari menghapus air matanya.
"Hm...
Let's see... Aku udah nepatin janji aku, jadi sekarang giliran kamu yang
harus nepatin janji kamu..." Ryota menunggu reaksi Hikari.
"But... I promised you nothing?" katanya bingung.
"Kamu
harus janji, untuk nggak menghapus aku dalam ingatanmu... Bahkan ketika
aku udah nggak ada lagi di dunia ini..." Ryota tersenyum mengucapkan
kata-kata aneh itu.
"Ngomong apa sih..." Hikari mengenyekan.
"Promise?" kata Ryota, mukanya terlihat lebih serius.
"Yeah, yeah. I promise..." Hikari akhirnya menyetujui dengan pikiran yang masih melayang.
"Satu
lagi..." Ryota mengulurkan kumpulan kertas. Sepertinya yang ia tulis
waktu itu? Terka Hikari. "Ini... Boleh kamu baca pada waktunya nanti..."
"Okay. But when?"
Pertanyaan Hikari tidak ditanggapi oleh Ryota.
Ryota seperti tersenyum, senyum yang sangat berseri. Ia lalu menutup matanya.
Jeda waktu yang terlampau lama membuat Hikari dihinggapi rasa cemas. Ia menghampiri Ryota yang hanya berjarak satu meter.
"...
What's wrong with you?" ia menyentuh punggung Ryota, lalu pipinya. "Hey,
this is not funny! Wake up..." ia pun merasa begitu putus asa...
"Ryota!"
Hikari
sedang menunggu di ruang tunggu klinik. Ia menelungkupkan tangannya,
lalu menaruhnya di muka. Ia ingin menangis... Dan ia pun menangis...
Tes... Tes...
Mata Hikari yang basah menatap gulungan kertas.
"Pada waktunya nanti..." terngiang lagi kata-kata itu...
Ia membuka lembar pertama...
Hi, Hikari.
I know this is not a perfect time for kidding. And I won’t. Prepare
yourself, coz there’s so much thing that I kept out of ya. And I’m
sorry, please forgive me.
I actually live in Sydney, Australia, not America. I spent my boring
life there with my Mom, without a Dad. Dad’s Japanese. He’s from
Hokkaido. Mom doesn’t know his grave, so that’s why I’m here.
Dad passed away when I was thirteen. He went to Hokkaido for a business.
I didn’t know that he had something that made him pass away so quickly.
That’s when I found his diary.
From there, I know that he had another woman in his life, not just Mom. I
upset, but I kept reading until I know the truth. Dad had a cancer. And
he never let us to know about it.
That’s when the doctor told me about my cancer. I feel like nothing. I
just… Feel sorry for my Mom’s life. She will loose again, soon. So,
before you leave, I have one thing to ask you. Would you please send a
letter for Mom? I beg you… Tell her where she can find and me. My
grave... Sorry for making you crying, I know there’s a mistake when I
met you. I shouldn’t feel it, but…
I AM FALLIN’ IN LOVE… WITH HIKARI…
Tangis
Hikari pecah, ia berteriak, mendengungkan kata-kata kasar dalam bahasa
ibu yang tak akan dimengerti oleh siapa pun, setidaknya siapapun dalam
lingkup klinik itu. Kecuali orang tuanya...
"Hikari...?" panggil suara serak yang bernuansa serak itu.
"Mom?" Hikari bangun dari duduknya, Maya pun berlari kecil. Mereka pun berpelukan dalam waktu yang begitu terasa pelan.
Kira yang berwatak dingin, hanya memegang pundak putrinya. Menepuk-nepukkan tangannya yang putih.
"It's gonna be fine..." Kira membuat perasaan Hikari lebih tenang.
"How did you find me?" kata Hikari yang baru tersadar akan kehadiran orangtua tercinta di Jepang, DI HOKAIDO!
"Well,
some help..." Kira menunjuk ke arah Takao dan kawan-kawannya. Takao
adalah seorang polisi senior, tidak mudah mencapai jabatan yang pernah
dicapainya dulu. Dengan bantuan dari beberapa pihak, dan informan yang
terpercaya, Hikari pun ditemukan.
Belum selesai mereka berbincang, Dokter perempuan yang dulu pernah merawat Ryota pun keluar dari ruangan.
"Dok, how is he?..." Hikari berdoa dalam hati.
"Well,
saya telah mencoba semampu saya, tapi..." Dokter itu diam sejenak, "you
have two minutes left..." Dokter itu beranjak, namun Kira memanggilnya.
Dokter itu lalu tertahan, terpaksa harus menjelaskan panjang kebar tentang keadaan teman baru si gadis kecilnya, Ryota.
"Ryota..." panggil Hikari.
Selang-selang
yang menutupi hidung, kepala yang diperban. Sungguh membuat hatinya
miris. Namun ia tak ingin melanjutkan kesedihannya, ia pun berkata...
"Ryota...
Aku gak punya waktu banyak... Aku... Juga sayang sama kamu..." ia
mencoba menahan tangis, "waktu-waktu yang kita lewatin bersama. Tak
peduli seberapa singkatnya kamu hadir di hidupku, aku tak menyesali itu
sedikit pun... Kamu akan selalu terkenang, di sini, Ryota..." Hikari
mendekatkan dadanya, lalu melampirkan tangan Ryota yang hangat disitu.
Hikari sempat melihat sebulir tetesan air mata. Ryota mendengarnya!
Ryota menggerak-gerakkan bibirnya...
"Hikari..."
suara itu begitu parau, bahkan mata Ryota tetap terpejam. Lalu
keluarlah sebuah kata yang tak butuh kamus untuk menterjemahkannya...
Aishiteru... Ya, Hikari bisa menterjemahkannya lewat kamus hatinya.
"Tuuuuuuuuuuuuuuuuuuuut........."
"Kami
tunggu disana ya, Nak..." kata Maya, yang menggandeng tangan Kira.
Pemakaman berlangsung khidmat. Hanya dihadiri Dian, Takao, Dokter
Perempuan yang ternyata bernama Maria, Kira dan Maya, serta tentu saja
Hikari. Hari itu tangisnya telah kering. Matanya yang sembab karena
menangis semalaman tertutup kacamata gelap yang bingkainya berwarna
ungu.
Setelah
selesai, ia segera melaju. Menuju belakang hotel. Ia masih penasaran
akan nama itu, sepertinya begitu berarti bagi Ryota.
Ketika sampai, ia bergegas pergi. Kira dan Maya pun hanya geleng-geleng kepala...
Sampai! Pekiknya dalam hati.
Ia mengusap bacaan itu lagi.
Jiro... Ma...
Saat berusaha keras untuk membaca kata misterius itu, sebuah suara muncul...
"It's Maria..." suara perempuan terdengar dari belakang Hikari.
"Maria?" ulang Hikari.
"Yes.
It's my name... " Dokter Maria mendekat. "I met a guy, named Jiro" ia
memandang Hikari, lalu melanjutkan, "We fell in love for one sight. He’s
a nice guy, a really funny guy. But he already had a wife. So I just
killed my love. It’s hurt, but I try, you know? He said that he will be
back, but I never see him until now. He also made me promise to remember
him forever. I did”… “When I meet Ryota, he’s really had a same face…
Same smile… ” Hikari tersenyum menanggapi, “I never know that he would
write my name here, the first place we met…” Dokter Maria beranjak, “I
gotta go… So, see ya!” ia pun pergi.
Hikari termenung sejenak, meresapi penjelasan Dokter Maria. Ia lalu beranjak juga, menuju Maya dan Kira.
“Take me to the post office, please?” katanya pada supir taksi.
Kira menerjemahkan dalam bahasa Jepang.
Hikari pun bergegas mengemban tugas.
Love is universal. And my love, will always belong to you... I will always remember...
RYOTA...